![]() |
Duka, Musisi 7/07/2019 12:38:00 pm.Ferry Marisan saat tampil di Uncen suatu kesempatan. Foto geogle |
Jayapura. YikauwoKebo------- Lengkingan suaranya memang mirip mendiang seniman musik tradisional Papua Arnold C Ap. Kemampuannya memetik gitar dan melodi khas Papua membuat simpatisan grup Mambesak kembali mengingat sosok Arnold C Ap saat Ferry Marisan membawakan dan menyanyikan lagu.
”Seolah-olah sosok Arnold Ap lahir kembali dalam diri seorang
Marisan,” kenang Aloysius Renwarin saat dihubungi Jubi, Sabtu (6/7/2019) pagi.
Ferry Marisan punya dua cara mengadvokasi kasus-kasus Hak Asasi Manusia (HAM)
di tanah Papua, pertama lewat laporan-laporannya dan kedua lewat lagu-lagu.
BACA JUGA. Oap Mengangkat Laguperjuangan.
“Saat Marisan bersama Black Paradise menyanyikan lagu lagu
Mambesak pada 2000 di depan museum Uncen, membuat warga Abepura tersentuh dan
menangis,” kata Renwarin mantan rekan kerja dan juga mantan Direktur Elsham
Papua.
Pagi ini Sabtu (6/7/2019) lonceng Gereja Kristen Injili (GKI)
Lembah Yordan Emereuw Organda, Padangbulan, Abepura dibunyikan karena
kepergiannya. Ferry Marisan yang tercatat sebagai anggota jemaat gereja itu.
Ferry Marisan adalah anggota Badan Pengawas Keuangan Gereja (BPKG) GKI Lembah
Yordan.
Langkahnya sebagai human rights defender dikenal saat mendiang
Fery Marisan menjadi salah satu koordinator aksi demo pertama di Tanah Papua
pada saat masa orde baru, tepatnya di depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat
Papua (DPRP) pada Agustus 1995.
“Demo itu melibatkan sebanyak 800 mahasiswa se Kota Jayapura.
Ini demo pertama sejak 1969 di Kota Jayapura,”kata Aloysius Renwarin mengenang
rekan sekerjanya itu.
Lelaki kelahiran kampung Noribo, pulau Numfor 1971 bersama rekan
seangkatannya Yohanes Rumere dan almarhum Obed Rumere, kemudian bergabung
dengan Irian Jaya Peace and Justice. Lembaga tersebut kemudian menjadi Elsham
Papua pada 1998.
“Demo itu dilakukan untuk merespon laporan Uskup Herman Muninghoff
yang telah memberikan laporan pelanggaran HAM berat kasus Bela dan Alama di
sekitar areal kerja PT Freeport Indonesia,” kata Renwarin.
Alumni SMA Oikumene, Manokwari itu melanjutkan studinya di
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Cenderawasih (Uncen)
jurusan antropologi, kemudian menikah dengan Pendeta Yembise. Selama hidupnya,
ia pernah mendapat ancaman pembunuhan, tepatnya usai mengikuti pelatihan HAM di
Geneva. Swiss.
“Ferry pernah diancam dan mau dibunuh gara gara memberikan
keterangan bahwa untuk membawa kasus HAM ke PBB butuh proses dan mekanisme yang
sangat panjang. Pendapat itu langsung mendapat respon negatif sehingga mendapat
ancaman,” kata Renwarin.
Mendiang Ferry Marisan tercatat pernah menjabat Direktur Elhsam
Papua. Selain itu ia aktif menulis lagu dan kampanye lingkungan bersama Grup
Musiknya Beyuser. Bersama grup Beyuser pernah tampil di Sydney Australia
menampilkan musik-musik dari grup Mambesak.
Ferry Marisan memang sudah lama menderita penyakit gula,
sehingga komplikasinya bisa ke mana-mana bisa ke paru-paru maupun hati. “Sudah
satu bulan lebih mendapat perawatan di Rumah Sakit Umum Abepura,” kata dr.
Trayanus Yembise yang juga ipar Marisan saat dihubungi Jubi,Sabtu (6/7/2019)
pagi melalui telepon selular.
Dia menambahkan almarhum meninggal Sabtu (6/7/2019) subuh dan
jenazahnya di semayamkan di rumah duka keluarga Pdt.Yembise di kompleks Sekolah
Tinggi Thelogia (STT) IS. Kijne, jalan Trikora Abepura. “Saya juga belum
mengetahui rencana pemakaman nanti saya beritahukan lebih lanjut,”kata Yembise.
Ferry Marisan dalam kenangan rekan sekerja dan sahabat Mantan
Direktur Lembaga Studi dan Advokasi HAM (ELSHAM) Papua Ferdinand Marisan (48)
meninggal dunia pada Sabtu,6 Juli 2019 di RSUD Abepura, Kota Jayapura, Papua
karena penyakit gula yang lama dideritanya.
Tanah Papua dan pemerhati HAM dan budaya merasa kehilangan atas
kepergiannya. Ungkapan belasungkawa ditujukan kepada almarhum dan keluarga,
bahkan di laman media sosial dukacita disampaikan sejumlah anak Papua dengan
memajang foto dan ungkapan doa.
BACA JUGA. Pemekaran Negara Bukan Pemekaran Provinsi
Mantan Sekretaris Elsham Papua, Paul Mambrasar kepada Jubi,
Sabtu pagi, 6 Juli 2019 mengatakan, Ferdinand Marisan atau yang lebih dikenal dengan
Ferry Marisan adalah sosok yang getol dan konsisten memperjuangkan hak-hak
asasi manusia.
Pada masa transisi dari Orde Baru ke reformasi, 1998, dia
bersama kawan-kawannya turun ke jalan untuk memerotes ketidak adilan dan
pelanggaran HAM di Tanah Papua.
Ferry adalah direktur ELSHAM Papua periode 2008 hingga 2017.
“Dia konsisten memperjuangkan penegakan HAM dan pengadilan HAM di Tanah Papua,
bahkan kasus Biak Berdarah juga dia perjuangkan,” kata Paul Mambrasar.
Paul berharap agar anak-anak muda Papua melanjutkan perjuangan
beliau. Sem Rumbrar adalah salah satu mitra kerja Ferry Marisan di ELSHAM.
Rumbrar mengenal Ferry selama sekitar 20 tahun.
Rumbrar mengatakan, selain melalui ELSHAM Papua, Ferry Marisan
juga getol mengkampanyekan hak-hak asasi manusia Papua melalui musik, yaitu
grup Black Paradise. Namun, seiring waktu berjalan personil Black Paradise
memilih jalan berbeda, sehingga Ferry seorang diri meneruskan spirit musik
Black Paradise. Dia lalu menghidupkan Black Paradise dengan nama baru
Eyuser.
Melalui Eyuser, Ferry menggiatkan kampanye hak-hak orang asli
Papua dalam lagu-lagunya hingga ke Eropa dan Pasifik. Dia tetap konsisten
memperjuangkan hak-hak asasi manusia hingga penyakit merenggut nyawanya, dan
meninggalkan istri dan dua anak yang sedang kuliah di Filipina.
Direktur Ekologi Papua Titus Kris Pekei menyampaikan
belasungkawanya. Dia mengaku merasa kehilangan atas kepulangan penerus suara
Mambesak setelah Arnold Ap.
“Suara Mambesak nonstop yang pernah hadir dan menghibur
komunitas perajin noken di Hari Noken I dan II di Universitas Cenderawasih
(Uncen) dan Majelis Rakyat Ppua (MRP) terpancar jiwa musisi secara alami, penuh
penghayatan, selamat jalan untuk selamanya!” kata Titus Pekei.
“Atas nama komunitas perajin noken Papua di 7 wilayah adat
Papua, merasa kehilangan seorang Ferry Marisan,” lanjutnya.
Titus Pekei mengaku Ferry Marisan pernah hadir dan memberi
semangat bersama alunan musik khas Papua. Salah satu lagunya berjudul “Domi Dou
Ani Damoutopa Tugu-Tugu Tai” yang dibawakan saat hari ulang tahun noken pertama
4 Desember 2013 di auditorium Universitas Cenderawasi dan hari noken kedua 4
Desember 2014 di pelataran kantor MRP.
Keceriaan musisi penerus Mambesak hadir menyemanggati kaum
perajin mama-mama Papua.
“Kami merasa kehilangan, selamat jalan, hidup kekal dalam damai.
Doa dan pujian komunitas perajin noken menyertaimu,” kata Titus Pekei.
Mantan Pemred Jubi Dominggus Arnold Mampioper bercerita, Fery
Marisan adalah motor penggerak pertama demonstrasi PT Freeport tahun 1996 dan
1997. Dia bersama mahasiswa se-Kota Jayapura berdemo ke DPR Papua untuk
memerotes pelanggaran HAM di Tanah Papua.
Sejak itulah demo Freeport serentak dilakukan oleh mahasiswa
Papua di Yogyakarta, Salatiga, Semarang. Itulah pertama kali Freeport didemo
oleh mahasiswa Papua se-Indonesia.
“Demo ini pula dirancang oleh John Rumbiak mantan aktivis dan
Koordinator Elsham Papua,” katanya. Salah satu teman Ferry Marisan, Dominggas
Nari mengharapkan agar anak-anak Papua melanjutkan perjuangan almarhum.
“Kita merasa kehilangan. Selama kitong hidup mungkin kitong bisa
melanjutkan perjuangannya,” kata Dominggas.
(*) Copyright ©Jubi_1
& Jubi_2 "sumber" Hubungi kami di E-Mail ✉:
tabloid.wani@gmail.com
Sumber: Tabloid WANI |
link ➡
https://www.tabloid-wani.
Tag :
ARTIKEL
0 Komentar untuk "Selamat Jalan Ferry Marisan, aktivis HAM dan Seniman Papua"