![]() |
Tim Solidaritas Nduga rilis data baru dan penyanderaan seorang anak |
Jayapura.YikauwoNwes----- Tim solidaritas peduli konflik Nduga
bersama sejumlah pengungsi di Wamena, saat menggelar jumpa wartawan di halaman
gereja Weneroma, Jayawijaya-Jubi/Islami
Wamena, Tim solidaritas peduli konflik
Nduga yang terdiri dari unsur gereja dan pemerhati HAM maupun lembaga lainnya,
telah merilis data terbaru korban meninggal masyarakat sipil pasca adanya
konflik di Nduga sejak Desember 2018.
Theo Hesegem sebagai pemerhati HAM dan juga
direktur eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua menyebutkan,
korban meninggal sejak 4 Desember 2018 hingga akhir Juli 2019 ada 182 orang
baik dewasa maupun anak-anak.
Baca Juga.
“Ini yang sudah teridentifikasi dan ini adalah
suara hamba Tuhan dan juga telah diklarifikasi benar pada saat 26 Juli 2019
bahwa laporan, nama-nama dan jumlah korban yang sudah teridentifikasi oleh
hamba Tuhan, seluruh ketua klasis di daerah konflik,” katanya saat menggelar
jumpa pers di halaman gereja Kingmi jemaat Weneroma, Ilekma, Jayawijaya, Kamis
(1/8/2019).
Menurut Theo, data tersebut dibuat setelah
para hamba Tuhan dan masyarakat yang melihat dan mendengar sendiri jumlah
korban yang teridentifikasi itu.
“Data ini dari para klasis Gereja Kingmi di
Nduga, perwakilan MRP dari Nduga, perwakilan koordinator Jayawijaya, tim
kemanusiaan Nduga dan melibatkan seluruh pengungsi melakukan verifikasi data
korban,” katanya.
Ada pun rinciannya korban perempuan dewasa
yang meninggal 21 orang, laki-laki dewasa 69 orang, korban anak perempuan 21
orang, anak laki-laki 20 orang, balita perempuan 14 orang, balita laki-laki 12
orang, bayi laki-laki 8 orang, bayi perempuan meninggal 17 orang. total 182
orang.
“182 orang meninggal ini data di pengungsian
termasuk yang ada di Wamena, Timika, Paro, dan tempat lainnya. Data ini akurat,
karena kami pun memiliki bukti seperti foto-foto, keterangan dari kampung mana,
distrik mana, dikubur dimana sudah jelas semua. Kecuali mereka yang meninggal
di daerah konflik itu memang tidak ada foto, tetapi bagi yang meninggal di
pengungsian itu ada foto sebagian dan lainnya akan kami usahakan untuk ambil
kembali foto-foto itu,” kata Theo Hesegem.
Menurutnya, dari 182 orang itu mereka
meninggal akibat adanya kekerasan fisik yang dilakukan aparat gabungan
TNI-Polri, ada yang dibakar hidup-hidup dalam rumah, meninggal di hutan karena
lapar, anak-anak yang terindikasi meninggal itu karena kedinginan, sakit dan
kelaparan.
“Karena selama di pengungsian tidak ada
makanan yang tersedia . Bagi mereka yang melahirkan tidak ada pertolongan medis,
yang bisa membantu dan menolong mereka sehingga anak kecil di situ sehari
dilahirkan langsung meninggal,” katanya.
Tim Solidaritas juga menyampaikan rasa
keprihatinan mereka terhadap 17 orang korban di Puncak Kabo, Distrik Yigi,
Nduga. Hal itu juga perlu diperhatikan dan dilihat secara kemanusiaan.
Untuk itu kata Theo, tim solidaritas peduli
konflik Nduga menegaskan Presiden Indonesia Joko Widodo segera menarik pasukan
TNI dan Polri di seluruh wilayah Nduga, karena dinilai menjadi aktor
ketidakstabilan daerah.
Selain itu, mereka juga meminta membuka akses
dan memberikan jaminan keamanan bagi jurnalis, tim investigasi HAM dan pekerja
kemanusiaan baik nasional maupun internasional ke Nduga.
“Komnas HAM Republik Indonesia juga harus
segera membentuk tim komite penyidik pelanggaran KPPHAM atau ad hoc dalam
rangka penyelidikan dugaan pelanggaran HAM pasca kejadian 2 Desember 2018 di
Nduga. Ini bersifat mendesak, karena selama ini belum melakukan hal itu,” ujar
dia.
Perwakilan Majelis Rakyat Papua Daerah Nduga,
Luis Maday menambahkan, data korban meninggal yang berada di tangan tim itu
adalah data akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
“Data korban di tangan kami dengan jumlah 182
orang ini data akurat, dan kami verifikasi sehari, kami yang melakukan ini siap
bertanggungjawab,” kata Maday.
Bantah data Kemensos
Sebelumnya, Kementerian Sosial Republik
Indonesia menegaskan sesuai data resmi dari Kementerian Kesehatan yang juga
telah divalidasi oleh tim yang terkait langsung dengan Dinas Kesehatan di
Kabupaten Nduga, diinformasikan hanya ada 53 orang yang meninggal dan 23 orang
di antaranya anak-anak.
Hal itu disampaikan Dirjen Perlindungan dan
Jaminan Sosial Kementerian Sosial, Harry Hikmat saat melakukan rapat koordinasi
terkait pengungsi Nduga bersama Dandim 1702/Jayawijaya, Kapolres, pemerintah
kabupaten Nduga, Pemerintah Jayawijaya, Dinas Sosial Provinsi Papua, Senin
(29/7/2019) di Makodim Jayawijaya.
Menurut dia, analisis yang disampaikan pusat
krisis kesehatan masyarakat yang ada di kementerian kesehatan menyatakan bahwa
data tersebut data yang bukan kejadian luar biasa.
“Dari catatan yang sejak Desember 2018 hingga
Juli 2019 adalah sebuah angka meninggal akibat dari sakit atau usia dan banyak
faktor lain, yang sebenarnya tidak bisa disebut sebagai kejadian yang luar
biasa oleh Kementerian Kesehatan. Namun, apabila ada informasi lebih lanjut
tentang hal tersebut, kementerian kesehatan siap untuk melakukan klarifikasi
lebih lanjut, dan barang tentu dengan dukungan fakta dan data yang akurat,”
ujar dia.
Namun versi Kemensos itu dibantah oleh
Hipolitus Wangge, anggota Solidaritas Nduga. Menurutnya, data jumlah korban
meninggal yang disampaikan Kemensos RI yang diperoleh dari Dinkes Pemda Nduga,
memiliki sejumlah kelemahan.
“Jumlah korban dicampur dengan penembakan pada
bulan Juli 2018, padahal pengungsi internal dimulai sejak peristiwa penembakan
karyawan Istaka Karya pada Desember 2018,” “ ujarnya
Selain itu, data yang disampaikan Kemensos RI ini
yang tidak menyebutkan adanya korban pada bulan April, Mei, dan Juli 2019.
“Jenis kematian dicampur antara penembakan
oleh OPM dan oleh TNI. Padahal seharusnya dibedakan, sehingga tindak
pelanggaran hukumnya bisa diidentifikasi secara jelas,” ujarnya.
Selain itu, 53 korban yang disampaikan
Pemerintah Indonesia, tiga di antaranya adalah warga non OAP tanpa disebutkan
namanya. “Metode pengumpulan data itu tidak jelas,”
Dugaan Anak Berumur 1 Tahun Disandera Aparat.
Selain itu, dalam Konferensi pers tersebut
juga disebutkan, ada seorang anak berumur setahun bernama Raina Nirigi yang
ditahan oleh TNI setelah ibunya dibunuh sejak 4 Juli 2019.
Hal ini jelas menjadi perhatian tim
solidaritas, agar bagaimana caranya mereka untuk bisa masuk melihat kondisi
anak tersebut. Jika benar anak itu ada, maka tim akan membawanya keluar karena
hingga kini tidak diketahui pasti kondisinya seperti apa, makan dan tidurnya
bagaimana. Apakah diperhatikan penuh atau hanya dibiarkan begitu saja, atau
hanya menjadi alat pancingan untuk memancing Tentara Pembebasan Nasional Papua
Barat (TPN PB) supaya datang dan terjadi bentrok .
Theo Hesegem mengatakan, informasi ini didapat
dari hamba Tuhan bahwa anak tersebut sedang ditahan. Secara lembaga ia telah
sampaikan ke Komnas Perempuan dan Komnas Anak dan juga Menkopolhukam telah
membentuk tim.
“Apakah nantinya kami dengan mereka (aparat
keamanan) akan masuk atau kami sendiri yang masuk, ini masih sedang kita
komunikasikan. Kalau komunikasi baik di tingkat pemerhati HAM, gereja, TNI dan
Polri kami bisa masuk, cuma komunikasi ini yang kami belum bangun,” katanya.
Pendeta Esmon Walilo selaku koordinator
Jayawijaya Gereja Kingmi mengatakan, informasi yang didapat dari salah sumber
terpercaya yang enggan disebutkan namanya ini menyebutkan terdapat seorang
mama-mama yang bersama anaknya disuruh oleh aparat untuk menggali tanah.
“Setelah digali, aparat tembak baru kubur ibu
itu , bukan tembak saat di kebun. Lalu anak kecil ini dijadikan sandera untuk
pancing OPM (TPN PB-red) turun, mereka bilang anak ini ditangan kami. Lalu OPM
juga tidak mau dipancing, jadi mereka tahan di posisi sehingga OPM juga buat
ancaman akan habisi orang-orang non Papua maupun anak-anaknya,” kata pendeta
Esmon.
Ia jelaskan, jika aparat menuduh bahwa ibu
tersebut suaminya ada di hutan, sehingga ibu itu harus dihabisi.
“Yang gereja tidak terima, kenapa ibu ini
disuruh gali tanah sendiri baru dibunuh lalu dikubur sama TNI, itu tidak
manusiawi. Kami pikir sebenarnya mereka (aparat) ini protap yang diterima dari
presiden melakukan penyisiran kejar OPM, tetapi kenapa korban yang jadi sasaran
empuk adalah masyarakat sipil,” katanya.
Pengungsi
Menurut data tim investigasi baik dari Lembaga
gereja Kingmi, LSM, Tim Relawan maupun kesaksian para pengungsi bahwa saat ini,
terdapat puluhan ribu pengungsi internal akibat operasi militer saat kelompok
TPN PB pimpinan Eginaus Kogeya.
“Rinciannya, 4.276 pengungsi internal di
Distrik Mapenduma, 4.369 di Distrik Mugi, 5.056 di Distrik Jigi, 5.021 di
Distrik Yal, dan 3.775 di Distrik Mbulmu Yalma. Pengungsi internal juga
tersebar di Distrik Kagayem sebanyak 4.238 jiwa, Distrik Nirkuri sebanyak 2.982
jiwa, Distrik Inikgal sebanyak 4.001 jiwa, Distrik Mbua sebanyak 2.021 jiwa,
dan Distrik Dal sebanyak 1.704 jiwa,” kata Sem Awom, dari Tim Solidaritas
Peduli Konflik Nduga.
Data relawan juga menyebutkan pengungsi
internal di Wamena tersebar di sekitar 40-an titik. Akibatnya banyaknya
pengungsi internal yang ditampung dalam satu rumah. Setidaknya ada 30-50 orang
dalam satu rumah. Bahkan ada yang berisi hingga ratusan orang.
Sementara itu Agus Kadepa ketua Gerakan Papua
Mengajar (GPM) yang tergabung dalam Tim Solidaritas Peduli Konflik Nduga Papua
mengatakan sejak operasi pengejaran dilakukan, terdapat sejumlah fasilitas
publik seperti sekolah, rumah ibadah dan puskesmas pembantu (Pustu) dan rumah
warga yang dirusak atau dibakar.
“Siswa sekolah pun harus menghentikan
pendidikan sebab gangguan keamanan sehingga memungkinkan bertambahnya angka
putus sekolah di wilayah ini. Berdasarkan catatan di lapangan, anak-anak yang
telah mengungsi di Wamena ada 637 anak yang terdiri dari siswa SD-SMA. Mereka
juga mengalami kendala belajar dan harus difasilitasi untuk mengikuti ujian
nasional. Ada sekitar 81 orang guru yang juga ikut mengungsi dan melakukan
proses belajar di sekolah-sekolah darurat yang dibangun para relawan
kemanusiaan,” kata Kadepa.
Sem Awom mengatakan, Dinas sosial Propinsi
Papua sebelumnya sudah mengetahui ada sekitar 8.000 korban pengungsi yang
tersebar di kabupaten Puncak, Jayawijaya dan Lani Jaya. Mereka mengaku sulit
untuk melakukan pendataan.
Dinas Komunikasi dan Informasi Kabupaten Nduga
mengklaim bahwa jumlah warga Nduga yang mengungsi keluar dari kabupaten itu
mencapai 45 ribu lebih.
Di sisi lain, Sekretaris Daerah Nduga
menyebutkan sebayak 3.457 anak sekolah mulai dari tingkat SD hingga SMU di
sejumlah distrik di kabupaten Nduga hingga kini belum bisa belajar dibangku
sekolah.(*)
Reporter : Viktor Mambor.
Sumber Tabloid Jub
Tag :
ARTIKEL
0 Komentar untuk " Tim Solidaritas Nduga rilis data baru dan penyanderaan seorang anak"