dok pribadi, meni douw |
Opini
Oleh : Meni douw
Pemilu
serentak mengingatkan bahwa demokrasi di Indonesia masih punya banyak pekerjaan
rumah. Masalah bisa ditemukan dalam perkara teknis pelaksanaan pemilu yang
banyak memakan korban jiwa, sampai dengan perkara etis kandidat presiden yang
mengklaim kemenangan sepihak untuk mendelegitimasi pemilu.
Klonialisme dalam politik elektoral adalah
persoalan yang tidak kalah penting namun jarang mendapat perhatian publik.
Salah satu bentuk fenomena klientelisme politik yang populer di masyarakat
adalah ‘politik uang’.
Praktik politik uang dalam kegiatan pemilihan
telah banyak diamati dan dibicarakan dalam kehidupan sehari-hari. Adalah
fenomena lazim ketika kandidat eksekutif dan legislatif menawarkan uang pada
calon pemilih menjelang hari pencoblosan. Mereka juga cermat memetakan
daerah-daerah mana yang jadi basis pendukungnya. Jika terpilih, daerah-daerah
tersebut akan mendapatkan prioritas program-program pembangunan. Oleh
karenanya, beberapa bulan sebelum pemilihan, para tokoh lokal akan sibuk
menjadi broker untuk mendata dukungan yang bisa mereka tawarkan pada para
kandidat eksekutif maupun legislatif.
Pada saat bersamaan, sejumlah pebisnis sudah
menyiapkan uang untuk modal kampanye para kandidat. Mereka berharap mendapatkan
proyek setelah kandidat yang mereka dukung menang. Praktik-praktik ini adalah
bagian dari klientelisme politik, yang secara sederhana bisa didefinisikan
sebagai fenomena di mana modal ataupun dukungan suara diberikan pada politikus
sebagai bentuk pertukaran dengan keuntungan langsung.
Politik uang dalam politik elektoral di
Papua bukan cuma gosip warung makan. Beberapa bulan menjelang
pemilihan serentak kali ini saja, sudah ada beberapa Dewan yang pernah
korupsi karena diduga melakukan praktik tersebut baru tertangkap
oleh KPK tapi sayang di Wilayah Papua jadi lahan Bisnis dengan para
pejabat.
Penyebab Maraknya Politik Uang
Ada banyak alasan untuk menjelaskan kuatnya
fenomena politik uang dan klientelisme elektoral di Indonesia. Salah satu
yang paling kerap dikemukakan adalah politik massa mengambang milik Orde Baru.
Atas nama stabilitas politik, masa
kepemimpinan Soeharto melepaskan partai-partai dari ikatannya dengan pemilih di
akar rumput. Implikasinya, partai sulit mempertahankan corak politik yang
bersifat ideologis sehingga harus mengandalkan figur lokal untuk mendulang
suara pemilih. Pilihan ini jadi pisau bermata ganda. Sebab, meskipun menjamin
keberlangsungan suara partai, namun model ini malah menjauhkan para
pemilih untuk terasosiasi dengan partai. Dalam studi yang sama, Muhtadi
menunjukkan bahwa keterikatan para pemilih turun dari 86% jadi 15% sejak pemilu
1999 sampai 2019.
Seiring penguatan figur dalam partai politik,
corak antar partai juga semakin sulit untuk dibedakan. Gerindra dan Hanura,
misalnya, tidak terlihat berbeda jauh dengan Golkar. Partai seperti Nasdem juga
menampilkan corak partai yang sama dengan Demokrat. Sebagian besar partai
memiliki persoalan yang sama. Mereka hanya dapat dibedakan dari sosok-sosok
pemimpinnya.
Pola tersebut telah menjadi cara yang diterima
oleh semua pihak yang terlibat dalam aktivitas politik. Partai-partai amat
mengandalkan figur untuk memperoleh suara pemilih. Para kandidat legislatif
maupun eksekutif juga merasa lebih mudah mengedepankan figur alih-alih
mendorong program pembangunan yang konkret. Para pemilih pun merasa lebih mudah
mengambil manfaat langsung berupa uang atau hadiah dari kandidat daripada
berharap pada kebijakan.
Selain itu, maraknya praktik politik uang juga
secara tidak langsung disebabkan oleh ‘electoral competitiveness’ yang sangat
tinggi dalam desain pemilu kita. Hal ini disebabkan oleh sistem proporsional
terbuka dalam pemilu legislatif yang memungkinkan pemilih mencoblos langsung
nama figur calon legislatif dari masing-masing partai yang berlaga. Walhasil,
para caleg berkompetisi bukan hanya dengan caleg dari partai yang berbeda,
namun juga dengan sesama caleg dari partai yang sama. Menurut Muhtadi, dalam
konteks ini politik uang menjadi amat krusial karena dapat menjadi faktor
penentu dalam ketatnya persaingan untuk memenangkan pemilu.
Klonialisme dalam bentuk politik uang
kemudian menjadi lingkaran setan yang sulit diputus. Meskipun demikian, jalan
bagi perbaikan demokrasi bukannya nihil sama sekali. Kemungkinan perubahan
dapat terlihat jika praktik klientelisme di Indonesia tidak dilihat secara
monolitik. Kajian Ward Berenshot dan Edward Aspinall dalam Democracy for Sale:
Pemilihan, Klientelisme dan Negara di Indonesia (2019)menunjukkan kenyataan
penting: bobot klientelisme politik berbeda di tiap daerah di seputaran Papua.
Klientelisme Politik di Berbagai Daerah
Dalam diskusi yang lebih luas soal politik
uang dan klientelisme politik, Berenschot dan Aspinall berangkat dari dugaan
bahwa tiap daerah di Indonesia maupun Papua memiliki kekhususan dalam
menjalankan praktik klientelisme. Oleh karenanya, mereka membangun instrumen
untuk mengukur kekuatan pengaruh klientelisme di berbagai daerah. Instrumen
pengukuran tersebut mereka beri nama sebagai Indeks Persepsi Klientelisme
(IPK). Indeks tersebut dibentuk dalam skala 1 sampai dengan 10. Angka terendah
menunjukkan bahwa daerah yang bersangkutan hampir tidak memiliki praktik
klientelisme. Sebaliknya, angka 10 menunjukkan bahwa corak politik daerah
tersebut sepenuhnya didominasi klientelisme.
Pada praktiknya, tidak ada daerah yang
betul-betul bebas dari klientelisme politik seperti juga tidak ada daerah yang
sepenuhnya didominasi praktik tersebut. Wilayah Papua, misalnya, memiki skor
yang terendah dengan angka 2,97, sementara daera lain dengan
angka 7,95 menempati skor tertinggi di antara kabupaten/kota yang menjadi fokus
kajian. Pada lingkup yang lebih besar, Berenschot dan Aspinall juga
menemukan bahwa praktik-praktik klientelisme.
Apa yang menjelaskan ketimpangan yang terjadi
di wilayah dengan skor rendah dan wilayah lain yang skornya tinggi? Kedua
peneliti berargumen bahwa jawabannya terletak pada sumber daya ekonomi di satu
daerah. Pada wilayah yang sumber daya ekonominya berasal dari sedikit sektor
yang dikuasai pemerintah, besar kemungkinan praktik klientelismenya tinggi.
Sebaliknya, praktik klientelisme cenderung rendah di daerah yang punya lebih
banyak ragam sektor ekonomi baku rampas wilayah yang menjajah.
Pada tipe wilayah yang pertama, warga negara
sangat tergantung pada sektor pemerintahan sebagai sumber pendapatan. Oleh
karena itu, mereka cenderung mengambil posisi agar penghidupan mereka
terpaksa aman dengan mendukung pemerintahan yang berkuasa. Keadaan serupa
juga dialami oleh lembaga yang seharusnya berperan menjaga akuntabilitas
legislatif maupun eksekutif seperti pers dan organisasi non-pemerintah.
sehingga kedua lembaga tersebut juga jarang mengambil risiko mengkritik
pemerintah. Kritik terhadap politisi petahana baru mungkin terjadi jika para
pemilih mendukung kandidat penantang yang juga menjanjikan relasi klientelistik
serupa ketika mereka berkuasa.
Kondisi berbeda terjadi pada wilayah dengan
beragam sektor ekonomi Papua terendah. Kelompok masyarakat sipil, pers, dan
juga warga negara punya banyak alternatif mata pencaharian di luar sumber daya
yang dikelola oleh negara.
Situasi tersebut membuat mereka bisa lebih
independen dalam memberikan dukungan pada kandidat legislatif ataupun
eksekutif. Daerah-daerah seperti ini, dalam argumen Ward dan Aspinall, juga
jadi lebih memiliki peluang untuk menghadirkan figur-figur alternatif yang
relatif bebas dari praktik klientelisme.
Jika sudah diketahui bahwa praktik
klientelisme Indonesia bersifat asimetris atau variatif, selanjutnya apa?
Kedua cendekia memang tidak mengajukan jawaban
yang lugas terhadap persoalan ini, karena isu ini memang amat kompleks. Namun,
jika kami boleh sedikit berandai-andai, langkah perubahan kemungkinan dapat
dirintis dari dua aspek. Pertama, perlunya penguatan institusi partai.
Solusi ini sudah banyak dikemukakan cendekia Papua, namun tetap penting
untuk dikemukakan ulang.
Penguatan partai penting untuk menggantikan
pengedepanan individu yang jadi salah satu faktor penting di balik klientelisme
politik di Papua, Selain itu, penguatan partai juga berarti mendorong
partai untuk berbenah merumuskan program yang lebih ideologis. Jika hal ini
bisa dicapai, seandainya pun partai masih mengedepankan figur, sedikitnya
mereka bisa lebih memilih tokoh yang siap merepresentasikan gagasan
ideologisnya.
Aspek kedua yang perlu diperhatikan dalam
upaya meredam klientelisme politik adalah pengembangan ragam sektor ekonomi
oleh pemerintahan pusat, khususnya pada wilayah-wilayah dengan praktik
klientelisme tertinggi. Dengan menjamin ragam sektor ekonomi yang lebih luas,
baik pemilih maupun kandidat yang akan dipilih dapat lebih memiliki peluang
untuk berpartisipasi dalam pemilihan dengan mengandalkan model politik
alternatif.
Kedua kemungkinan ini tentu saja bukan obat
untuk segala penyakit, namun sedikitnya dapat memelihara asa menuju demokrasi
tanpa politik uang di dalamnya hubungan kontak balik selama pesta
demokrasi berlangsung.
Tag :
OPINI
0 Komentar untuk "Uang Bukan Segalanya, namun Segalanya Butuh Uang dalam Politik"